MAKALAH
ETIKA
KEILMUAN DAN TANGGUNG JAWAB MORAL KEILMUAN
Oleh : Kelompok 6
RIKA YULIATI
NORHIKMAH
M. RASYID
VEBRIYANI UTAMI
Pembimbing
WIRA SUGIARTO, S.IP,
M.Pd.I.
Prodi PAI
Semester IV D
STAIN BENGKALIS
Jalan Lembaga
Bengkalis
2015 - 2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Etika
merupakan bahasan yang berbicara tentang nilai etika dan nilai moral,
membicarakan perilaku manusia dalam hidupnya. Sebagai cabang filsafat, etika
sangat menekankan pendekatan kritis dalam melihat nilai etika dan mengenai
norma etika. Etika merupakan sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai
etika dan pola perilaku hidup manusia. Etika membicarakan soal nilai yang
merupakan salah satu dari cabang filsafat. Etika bermaksud membantu manusia
untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggung jawabkan karena setiap
tindakannya selalu dipertanggungjawabkan.
Etika
yang sebanding dengan moral dalam ilmu filsafat yaitu mengenai adat kebiasaan.
Lebih jauh, etika dan moral memiliki arti tersendiri dalam kehidupan manusia
yang terwujud dalam pola perilaku masyarakat. Etika sebagai pedoman cara
bertingkah laku yang baik dari sudut pandang budaya, sosial, dan agama.
Masalah etika itu sendiri merupakan cabang filsafat
yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan jahat yang berkaitan dengan perbuatan
dan tindakan seseorang yang dilakukandengan penuh kesadaran berdasarkan
pertimbangan pemikirannya. Persoalan etika itu pulamerupakan persoalan yang
berhubungan dengan eksistensi manusia dalam segala aspeknya baik individu
maupun masyarakat, baik hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesame manusia
dan dirinya.
Oleh karena, etika merupakan salah satu cabang dari
kajian filsafat, maka sangatlah perlu untuk mengupas tuntas tentang
permasalahan etika yang bersandarkan pada ruanglingkup filsafat. Sehingga dapat
diketahuilah tentang pandangan para pemikir atau para ahli filsafat tentang
etika.
Tanggung jawab adalah
berbuatan sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban.
Moral adalah
budi pekerti, sikap mental atau budi perangai yang tergambar dalam bentuk
tingkah laku berbicara, berpikir dan sebagainya yang merupakan ekspresi jiwa
seseorang, yang akan melahirkan perbuatan baik –menurut akal dan syari’at– atau
perbuatan buruk.
Makalah ini akan membahas tentang
“Etika Keilmuan dan Tanggung Jawab Moral Keilmuan “.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang
dimaksud dengan etika yang merupakan cabang dari ilmu filsafat ?
2. Bagaimana perkembangan etika ilmu pengetahuan ?
3. Bagaimana sikap ilmiah ilmuwan menerapkan
etika dalam menerapkan ilmu pengetahuan
?
4. Sikap keilmuan yang seperti apa yang harus kita
miliki ?
5. Kesadaran moral apa saja yang harus kita lakukan
dalam etika keilmuan ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Etika
[1]Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani Ethos yang berarti adat, kebiasaan kesusilaan. Pengertian terminologi etika
menunjukkan pada tingkah laku yang didasarkan pada penilaian baik dan benar.
Istilah ini di populerkan oleh Aristoteles. Pada perkembangan selanjutnya,
seorang ahli filsafat, Cicero mengenalkan istilah Moralis yang kurang lebih bermakna sama. Dalam pandangan normatif, segala
sesuatu mempunyai nilai-nilai yang dijadikan asumsi dasar dalam implementasi.
Etika (ethos) adalah sebanding
dengan moral (mos) di mana keduanya merupakan filsafat tentang
adat kebiasaan. Moralitas berasal dari kata mos, yang dalam bentuk jamaknya (mores)
berarti ‘adat istiadat’ atau ‘kebiasaan’. Jadi, dalam pengertian ini, etika
dan moralitas sama-sama memiliki arti sistem nilai tentang bagaimana manusia
harus hidup baik sebagai manusia yang telah diinstitusionalisasikan dalam
sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang tetap dan
terulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana layaknya sebuah kebiasaan
(Keraf, 1998).
Secara umum filsafat berarti upaya
manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis.
Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang
dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan
mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu
informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak.
Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu (Takwin,
2001).
Pengertian etika juga dikemukakan
oleh Sumaryono (1995), etika berasal dari istilah Yunani ethos yang mempunyai
arti adat-istiadat atau kebiasaan yang baik. Bertolak dari pengertian tersebut,
etika berkembang menjadi study tentang kebiasaan manusia berdasarkan
kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai
manusia dalam kehidupan manusia pada umumnya. Selain itu, etika juga berkembang
menjadi studi tentang kebenaran dan ketidakbenaran berdasarkan kodrat manusia
yang diwujudkan melalui kehendak manusia. Berdasarkan perkembangan arti tadi,
etika dapat dibedakan antara etika perangai dan etika moral.
1. Etika Perangai
Etika perangai adalah adat istiadat atau kebiasaan yang menggambaran
perangai manusia dalam kehidupan bermasyarakat di aderah-daerah tertentu, pada
waktu tertentu pula. Etika perangai tersebut diakui dan berlaku karena
disepakati masyarakat berdasarkan hasil penilaian perilaku.
2.
Etika Moral
Etika moral berkenaan dengan kebiasaan berperilaku yang baik dan benar
berdasarkan kodrat manusia. Apabila etika ini dilanggar timbullah kejahatan,
yaitu perbuatan yang tidak baik dan tidak benar. Kebiasaan ini berasal dari
kodrat manusia yang disebut moral.
Etika adalah bagian dari filsafat
yang membahas secara rasional dan kritis tentang nilai, norma dan moralitas.
Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam
melihat dan mengamati nilai dan norma moral tersebut serta
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan norma moral
itu (Aji dan Sabeni, 2003).
Sebagai cabang filsafat, etika dapat
dibedakan menjadi dua: obyektivisme dan subyektivisme. Menurut pandangan yang
pertama, nilai kebaikan suatu perbuatan bersifat obyektif yaitu terletak pada
substansi perbuatan itu sendiri. Paham ini melahirkan rasionalisme dalam etika,
suatu perbuatan dianggap baik, bukan karena kita senang melakukannya, tetapi
merupakan keputusan rasionalisme universal yang mendesak untuk berbuat seperti
itu. Sedangkan aliran subyektivisme berpandangan bahwa suatu perbuatan disebut
baik bila sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu baik subyek
Tuhan, subyek kolektif seperti masyarakat maupun subyek individu (Muhammad,
2004).
2.2. Etika Ilmu Pengetahuan
[2]Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan yang datang demikian saja sebagai
barang yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi ilmu merupakan
suatu cara berpikir yang demikian dalam tentang sesuatu obyek yang khas dengan
pendekatan yang khas pula sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa
pengeta-huan yang ilmiah. Ilmiah dalam arti bahwa sistem dn struktur ilmu dapat
dipertanggungjawabkan seca-ra terbuka. Disebabkan oleh karena itu pula ia
terbuka untuk diuji oleh siapapun.
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki
karakteristik kritis, rasional, logis, obyektif, dan terbuka. Hal ini merupakan
suatu keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya. Namun selain itu juga
masalah mendasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu bangunan yang
kokoh kuat adalah masalah kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia. Memang tak
dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia kearah perubahan yang cukup
besar. Akan tetapi dapatkah ilmu yang kokoh, kuat, dan mendasar itu menjadi
penyelamat manusia bukan sebaliknya. Disinilah letak tang-gung jawab seorang
ilmuwan, moral dan akhlak amat diperlukan. Oleh karenanya penting bagi para
ilmuwan memiliki sikap ilmiah.
2.3. Kaitan Ilmuwan dengan Etika
[3]Aholiab Watloly (2001) telah meletakkan berbagai prinsip dasar dalam hal
memahami tanggungjawab pengetahuan dan keilmuan. Istilah tanggung jawab, secara
etimologis menunjuk pada dua sikap dasar ilmu dan ilmuwan, yaitu; tanggung dan
jawab. Ilmu dan ilmuan, termasuk lembaga keilmuan, dalam hal ini, wajib
menanggung dan wajib menjawab setiap hal yang diakibatkan oleh ilmu itu sendiri
maupun permasalahan-permasalahan yang tidak disebabkan olehnya. Ilmu, ilmuwan,
dan lembaga keilmuan bukan hanya berdiri di depan tugas keilmuannya untuk
mendorong kemajuan ilmu, dalam percaturan keilmuan secara luas, tetapi juga
harus berdiri di belakang setiap akibat apa pun yang dibuat oleh ilmu, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Salah satu ciri pokok dari tanggung jawab keilmuan itu adalah sifat
keterbatasan. Tanggung jawab keilmuan memiliki sifat keterbatasan, dalam arti
bahwa, tanggung jawab itu sendiri tidak diasalkan atau diadakan sendiri oleh
ilmu dan ilmuwan sebagai manusia, tetapi merupakan pemberian kodrat.
Sebagaimana manusia tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, tetapi menerimanya
sebagai pemberian kodrat maka demikian pula halnya ia tidak dapat menciptakan
tanggung jawab. Manusia hanya menerima dirinya dan tanggung jawabnya, serta
menjalaninya sebagai sebuah panggilan kodrati dan tunduk padanya.
Hubungan etika dan ilmu berarti juga penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Tanggung jawab etis menyangkut kegiatan
maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini berarti ilmuwan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memerhatikan kodrat dan
martabat manusia, menjaga ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum,
dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena pada hakikatnya ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh ekosistem
manusia bukan untuk menghancurkan ekosistem tersebut. Manusia disebut etis
adalah manusia yang secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya
dalam rangka mewujudkan keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan orang
lain, antara rohani dengan jasmani, dan sebagai makhluk ciptaan-Nya. Dengan
demikian, etika dibutuhkan sebagai pertimbangan pemikiran yang kritis, yang
dapat membedakan antara apa yang sah dan yang tidak sah, membedakan apa yang
benar dan apa yang tidak benar.
2.4. Sikap Keilmuan
[4]Sikap
keilmuan dalam hal ini merupakan sikap ilmiah dari seorang peneliti atau
ilmuan. Sikap ilmiah adalah sikap-sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap
ilmuwan dalam melakukan tugasnya untuk mempelajari meneruskan, menolak atau
menerima serta merubah atau menambah suatu ilmu.
Menurut Prof harsojo dalam Liza menyebutkan enam macam
sikap ilmiah diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Obyektivitas
Dalam peninjauan yang penting adalah
obyeknya.
2.
Sikap
serba relatif
Ilmu tidak
mempunyai maksud mencari kebenaran mutlak, ilmu berdasarkan kebenaran-kebenaran
ilmiah atas beberapa postulat, secara priori telah diterima sebagai suatu
kebenaran. Malahan teori-teori dalam ilmu sering untuk mematahkan teori yang
lain.
3.
Sikap
Skeptis
Adalah
sikap untuk selalu ragu-ragu terhadap pernyataan-pernyataan yang belum cukup
kuat dasar-dasar pembuktiannya.
4.
Kesabaran
Intelektual
Sanggup
menahan diri dan kuat untuk tidak menyerah pada tekanan agar dinyatakan suatu
pendirian ilmiah , karena memang belum selesainya dan cukup lengkapnya hasil
dari penelitian , adalah sikap seorang ilmuwan.
5.
Kesederhanaan
Adalah sikap
cara berfikir, menyatakan, dan membuktikan
6.
Sikap
tidak memihak pada etik
2.5. Kesadaran Moral
[5]Nilai dan
norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Bagi
seorang ilmuan nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu,
apakah ia sudah menjadi ilmuan yang baik atau belum. Ilmuan yang tidak memiliki
moral akan menyalahgunakan ilmu yang dimilikinya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Masalah
moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi para ilmuwan terbagi ke dalam
dua golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat
netral terhadap nilai-nilai. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu
terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus
berlandaskan asas-asas moral. Masalah moral tak bisa dilepaskan dengan tekad
manusia untuk menemukan kebenaran (ilmu pengetahuan). Penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan
mempunyai pengaruh terhadap proses perkembangan lebih lanjut ilmu dan
teknologi.
DAFTAR
PUSTAKA
Bagus, Lorenz. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Seseno, Franz Magnus.1993. Etika Sosial, Jakarta: PT
Gramedia.
Surajiyo. 2009. Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar).
Jakarta: Bumi Aksara.
Latif, Mukhtar. 2014. Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta : Kencana.
1-inch x 3.5-inch x 3.5-inch X 3.5-inch D.C. - Titanium Arts
BalasHapus3-inch x 3.5-inch titanium razor x 3.5-inch ffxiv titanium nugget D.C. 3.5-inch D.C. Shop for the cheapest parts of 3-inch titanium knife x 3.5-inch D.C. in titanium i phone case our Cutlery Shop for the cheapest parts of titanium block 3-inch x 3.5-inch D.C. in our Cutlery