Laman

Jumat, 13 Mei 2016

Etika Keilmuan dan Tanggung Jawab Moral Keilmuan



MAKALAH
ETIKA KEILMUAN DAN TANGGUNG JAWAB MORAL KEILMUAN
Oleh : Kelompok 6
RIKA YULIATI
NORHIKMAH
M. RASYID
VEBRIYANI UTAMI
Pembimbing
WIRA SUGIARTO, S.IP, M.Pd.I.
  
Prodi PAI Semester IV D
STAIN BENGKALIS
Jalan Lembaga Bengkalis
2015 - 2016
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 
               Etika merupakan bahasan yang berbicara tentang nilai etika dan nilai moral, membicarakan perilaku manusia dalam hidupnya. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan kritis dalam melihat nilai etika dan mengenai norma etika. Etika merupakan sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai etika dan pola perilaku hidup manusia. Etika membicarakan soal nilai yang merupakan salah satu dari cabang filsafat. Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggung jawabkan karena setiap tindakannya selalu dipertanggungjawabkan.
         Etika yang sebanding dengan moral dalam ilmu filsafat yaitu mengenai adat kebiasaan. Lebih jauh, etika dan moral memiliki arti tersendiri dalam kehidupan manusia yang terwujud dalam pola perilaku masyarakat. Etika sebagai pedoman cara bertingkah laku yang baik dari sudut pandang budaya, sosial, dan agama.
       Masalah etika itu sendiri merupakan cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan jahat yang berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang yang dilakukandengan penuh kesadaran berdasarkan pertimbangan pemikirannya. Persoalan etika itu pulamerupakan persoalan yang berhubungan dengan eksistensi manusia dalam segala aspeknya baik individu maupun masyarakat, baik hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesame manusia dan dirinya.
            Oleh karena, etika merupakan salah satu cabang dari kajian filsafat, maka sangatlah perlu untuk mengupas tuntas tentang permasalahan etika yang bersandarkan pada ruanglingkup filsafat. Sehingga dapat diketahuilah tentang pandangan para pemikir atau para ahli filsafat tentang etika.
              Tanggung jawab adalah berbuatan sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban.
         Moral adalah budi pekerti, sikap mental atau budi perangai yang tergambar dalam bentuk tingkah laku berbicara, berpikir dan sebagainya yang merupakan ekspresi jiwa seseorang, yang akan melahirkan perbuatan baik –menurut akal dan syari’at– atau perbuatan buruk.
          Makalah ini akan membahas tentang “Etika Keilmuan dan Tanggung Jawab Moral Keilmuan “.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan etika yang merupakan cabang dari ilmu filsafat ?
2. Bagaimana perkembangan etika ilmu pengetahuan ?
3. Bagaimana sikap ilmiah ilmuwan menerapkan etika dalam menerapkan ilmu            pengetahuan ?
4. Sikap keilmuan yang seperti apa yang harus kita miliki ?
5. Kesadaran moral apa saja yang harus kita lakukan dalam etika keilmuan ?
  
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Etika
[1]Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani Ethos yang berarti adat, kebiasaan kesusilaan. Pengertian terminologi etika menunjukkan pada tingkah laku yang didasarkan pada penilaian baik dan benar. Istilah ini di populerkan oleh Aristoteles. Pada perkembangan selanjutnya, seorang ahli filsafat, Cicero mengenalkan istilah Moralis yang kurang lebih bermakna sama. Dalam pandangan normatif, segala sesuatu mempunyai nilai-nilai yang dijadikan asumsi dasar dalam implementasi.
Etika (ethos) adalah sebanding dengan moral (mos) di mana keduanya  merupakan filsafat tentang adat kebiasaan. Moralitas berasal dari kata mos, yang dalam bentuk jamaknya (mores) berarti ‘adat istiadat’ atau ‘kebiasaan’. Jadi, dalam pengertian ini, etika dan moralitas sama-sama memiliki arti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah diinstitusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang tetap dan terulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana layaknya sebuah kebiasaan (Keraf, 1998).
Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu (Takwin, 2001).
Pengertian etika juga dikemukakan oleh Sumaryono (1995), etika berasal dari istilah Yunani ethos yang mempunyai arti adat-istiadat atau kebiasaan yang baik. Bertolak dari pengertian tersebut, etika berkembang menjadi study tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan manusia pada umumnya. Selain itu, etika juga berkembang menjadi studi tentang kebenaran dan ketidakbenaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia. Berdasarkan perkembangan arti tadi, etika dapat dibedakan antara etika perangai dan etika moral.
1.    Etika Perangai
Etika perangai adalah adat istiadat atau kebiasaan yang menggambaran perangai manusia dalam kehidupan bermasyarakat di aderah-daerah tertentu, pada waktu tertentu pula. Etika perangai tersebut diakui dan berlaku karena disepakati masyarakat berdasarkan hasil penilaian perilaku.
2.    Etika Moral
Etika moral berkenaan dengan kebiasaan berperilaku yang baik dan benar berdasarkan kodrat manusia. Apabila etika ini dilanggar timbullah kejahatan, yaitu perbuatan yang tidak baik dan tidak benar. Kebiasaan ini berasal dari kodrat manusia yang disebut moral.
Etika adalah bagian dari filsafat yang membahas secara rasional dan kritis tentang nilai, norma dan moralitas. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat dan mengamati nilai dan norma moral tersebut serta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan norma moral itu (Aji dan Sabeni, 2003).
Sebagai cabang filsafat, etika dapat dibedakan menjadi dua: obyektivisme dan subyektivisme. Menurut pandangan yang pertama, nilai kebaikan suatu perbuatan bersifat obyektif yaitu terletak pada substansi perbuatan itu sendiri. Paham ini melahirkan rasionalisme dalam etika, suatu perbuatan dianggap baik, bukan karena kita senang melakukannya, tetapi merupakan keputusan rasionalisme universal yang mendesak untuk berbuat seperti itu. Sedangkan aliran subyektivisme berpandangan bahwa suatu perbuatan disebut baik bila sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu baik subyek Tuhan, subyek kolektif seperti masyarakat maupun subyek individu (Muhammad, 2004).
2.2.  Etika Ilmu Pengetahuan
[2]Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan yang datang demikian saja sebagai barang yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi ilmu merupakan suatu cara berpikir yang demikian dalam tentang sesuatu obyek yang khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengeta-huan yang ilmiah. Ilmiah dalam arti bahwa sistem dn struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan seca-ra terbuka. Disebabkan oleh karena itu pula ia terbuka untuk diuji oleh siapapun.
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki karakteristik kritis, rasional, logis, obyektif, dan terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya. Namun selain itu juga masalah mendasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu bangunan yang kokoh kuat adalah masalah kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia. Memang tak dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia kearah perubahan yang cukup besar. Akan tetapi dapatkah ilmu yang kokoh, kuat, dan mendasar itu menjadi penyelamat manusia bukan sebaliknya. Disinilah letak tang-gung jawab seorang ilmuwan, moral dan akhlak amat diperlukan. Oleh karenanya penting bagi para ilmuwan memiliki sikap ilmiah.
2.3.  Kaitan Ilmuwan dengan Etika
[3]Aholiab Watloly (2001) telah meletakkan berbagai prinsip dasar dalam hal memahami tanggungjawab pengetahuan dan keilmuan. Istilah tanggung jawab, secara etimologis menunjuk pada dua sikap dasar ilmu dan ilmuwan, yaitu; tanggung dan jawab. Ilmu dan ilmuan, termasuk lembaga keilmuan, dalam hal ini, wajib menanggung dan wajib menjawab setiap hal yang diakibatkan oleh ilmu itu sendiri maupun permasalahan-permasalahan yang tidak disebabkan olehnya. Ilmu, ilmuwan, dan lembaga keilmuan bukan hanya berdiri di depan tugas keilmuannya untuk mendorong kemajuan ilmu, dalam percaturan keilmuan secara luas, tetapi juga harus berdiri di belakang setiap akibat apa pun yang dibuat oleh ilmu, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Salah satu ciri pokok dari tanggung jawab keilmuan itu adalah sifat keterbatasan. Tanggung jawab keilmuan memiliki sifat keterbatasan, dalam arti bahwa, tanggung jawab itu sendiri tidak diasalkan atau diadakan sendiri oleh ilmu dan ilmuwan sebagai manusia, tetapi merupakan pemberian kodrat. Sebagaimana manusia tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, tetapi menerimanya sebagai pemberian kodrat maka demikian pula halnya ia tidak dapat menciptakan tanggung jawab. Manusia hanya menerima dirinya dan tanggung jawabnya, serta menjalaninya sebagai sebuah panggilan kodrati dan tunduk padanya.
Hubungan etika dan ilmu berarti juga penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Tanggung jawab etis menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memerhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh ekosistem manusia bukan untuk menghancurkan ekosistem tersebut. Manusia disebut etis adalah manusia yang secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka mewujudkan keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan orang lain, antara rohani dengan jasmani, dan sebagai makhluk ciptaan-Nya. Dengan demikian, etika dibutuhkan sebagai pertimbangan pemikiran yang kritis, yang dapat membedakan antara apa yang sah dan yang tidak sah, membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar.
2.4.  Sikap Keilmuan
[4]Sikap keilmuan dalam hal ini merupakan sikap ilmiah dari seorang peneliti atau ilmuan. Sikap ilmiah adalah sikap-sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap ilmuwan dalam melakukan tugasnya untuk mempelajari meneruskan, menolak atau menerima serta merubah atau menambah suatu ilmu. 
Menurut Prof harsojo dalam Liza menyebutkan enam macam sikap ilmiah diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Obyektivitas
     Dalam peninjauan yang penting adalah obyeknya.
2.    Sikap serba relatif
Ilmu tidak mempunyai maksud mencari kebenaran mutlak, ilmu berdasarkan kebenaran-kebenaran ilmiah atas beberapa postulat, secara priori telah diterima sebagai suatu kebenaran. Malahan teori-teori dalam ilmu sering untuk mematahkan teori yang lain.
3.    Sikap Skeptis 
 Adalah sikap untuk selalu ragu-ragu terhadap pernyataan-pernyataan  yang belum  cukup kuat dasar-dasar pembuktiannya. 
4.    Kesabaran Intelektual
Sanggup menahan diri dan kuat untuk tidak menyerah pada tekanan agar dinyatakan suatu pendirian ilmiah , karena memang belum selesainya dan cukup lengkapnya hasil dari penelitian , adalah sikap seorang ilmuwan. 
5.    Kesederhanaan 
Adalah sikap cara berfikir, menyatakan, dan membuktikan 
6.    Sikap tidak memihak pada etik
2.5.       Kesadaran Moral
[5]Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Bagi seorang ilmuan nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuan yang baik atau belum. Ilmuan yang tidak memiliki moral akan menyalahgunakan ilmu yang dimilikinya.
 
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
                 Masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Masalah moral tak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran (ilmu pengetahuan). Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh terhadap proses perkembangan lebih lanjut ilmu dan teknologi.
  
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorenz. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Seseno, Franz Magnus.1993. Etika Sosial, Jakarta: PT Gramedia.
Surajiyo. 2009. Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar). Jakarta: Bumi Aksara.
Latif, Mukhtar. 2014. Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta : Kencana.


[1] Surajiyo. Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar). Jakarta: Bumi Aksara. 2009. Hlm. 276
[2]Franz Magnus Seseno. Etika Sosial, Jakarta: PT Gramedia. 1993. Hlm. 150
[3] Mukhtar Latif, Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Jakarta: Kencana, 2014. Hlm. 146
[4]Lorenz  Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 2005. Hlm. 129
[5] Bertens, K.. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2007. Hlm 176

1 komentar:

  1. 1-inch x 3.5-inch x 3.5-inch X 3.5-inch D.C. - Titanium Arts
    3-inch x 3.5-inch titanium razor x 3.5-inch ffxiv titanium nugget D.C. 3.5-inch D.C. Shop for the cheapest parts of 3-inch titanium knife x 3.5-inch D.C. in titanium i phone case our Cutlery Shop for the cheapest parts of titanium block 3-inch x 3.5-inch D.C. in our Cutlery

    BalasHapus